Manusia itu, diwajibkan untuk berusaha. Perkara hasil, dalam beberapa hal, ya serahkan sama Tuhan saja. Saya mengimani itu dan mengamini itu. Segala sesuatu, terlebih hal baik, dengungkan dalam doa dan diusahakan terlebih dulu saja.
Cerita ini mengenai sebuah keinginan untuk punya tempat ala-ala perpustakaan. Khususon untuk di rumah, supaya anak-anak suka membaca. Impian yang terlalu besar? Nek dengan kondisi mimpi yang harus tempat bagus dan koleksi banyak, iya. Tapi, ndak ada yang nggak mungkin, bukan?
Sedari kecil, SD, saya suka di perpustakaan dan membaca buku. Kayake gur saya sek iso betah suwe nang perpus dan kayake gur saya sek paling akeh moco buku perpus. Haha, PD tenan. Ben, lah.
Pokoknya gitu, bahkan berlanjut sampai di kuliah. Membaca ki kegiatan sek tak luangkan dalam keseharian. Njuk kemudian muncul keinginan untuk punya tempat membaca di rumah. Mulai dari perpustakaan pribadi hingga tempat membaca untuk orang-orang sekitar rumah. Itu keinginan mengendap di otak dan di bawah sadar, namun belum juga terlaksana.
Hingga pada beberapa hari lalu, seorang teman di Twitter bilang, “gawe”. Iya, belia, Mas Budhi Hermanto bilang seperti itu njuk kemudian saya mikir. “Sebuah hal besar kan harus dimulai dari hal kecil dan konsisten”. Jadilah, setelah saya baca twit itu saya ngomong ke adik. “Aku pengen ndue perpustakaan, sesok arep tuku rak buku”. Padahal, pas saya ngomong ke adik malam itu saya sama sekali ndak punya bayangan akan bayar dari mana itu rak buku. Haha. Belum urusan buku karena buku koleksi saya ndak banyak dan kebanyakan koleksi untuk bacaan dewasa. Adik hanya bilang, “Gaweo”. Dan sudah.
Pagi harinya saya bekerja dan bertemu kerabat di tempat kerja, dan beliau berkata “Dik Yul, tak tambahi sangumu”. Dhes! Rasane pengen nangis. La reti-reti oleh duit dan nominalnya jebulane cukup untuk tumbas buku dan rak buku. Rak buku yang saya beli bukan rak buku yang modern dan bagus alus seperti kebanyakan perpustakaan di bayangan orang. Rak buku yang terbuat dari tumpukan rak buah yang disusun dengan bantuan pipa putih di tiap sisinya.
Sek penting fungsine, pikir saya. Buku yang saya sediakan untuk dibaca pun bukan buku yang lantas banyak, namun buku cetakan lama namun baru. Saya nemu toko di market place yang jebulane cedak jangkauannya. Hamdalah sekali.
Rasane ijik ra percoyo bahwa sebuah mimpi gede yang menurut saya angel karena kakean kudu ngene kudu ngono syarate bisa dengan mudah terwujud meski baru kecil cakupannya. Sementara iki, ngene wae wes cukup banget. Akan memulai untuk bergerilya ndermis buku ke beberapa teman dan mengumpulkan uang pribadi untuk mulai ngisi. Sek penting wes tak lekasi. Hal ini tak anggap sebagai kado ulangtahun yang datang terlalu dini, namun saya sangat mensyukuri.
Maturnuwun, Gusti!
2 replies on “Satu-satu”
Masalah buku memang butuh storage.
Gak bisa kalau dalam kardus terus.
Kayaknya banyak orang ngalami, kecuali Fadli Zon, pemilik perpustakaan pribadi yang (mungkin) terbesar di Indonesia. Kebetulan saya kenal orang yang bikin rak buku buat Tuan Zon.
Saya baru tahu kalau Bapak Fadli Zon punya perpustakaan sendiri dan oke sekali keadaannya. Nek saya ndakmuluk-muluk, Pak. Ini anak-anak sekitar rumah ada akses untuk bacaan dan jadi suka membaca saja sudah senang. Saat ini yang datang masih satu-dua orang tiap tiga hari sekali. wes lumayan.