Nggaya tenan ndandak nganggo bagian 1. Haha. Tapi kayake saya akan bercerita dengan banyak jadi ya sehingga wes. Yok, dilekasi, yok.
Seperti yang sudah saya bicarakan beberapa kali di blog saya ini kalau tahun 2020 ini sungguh tahun yang njungkir njempalik untuk saya. Rasane nano-nano tapi saya mensyukurinya dengan sangat #MaturNuwunGusti
Kemarin kan saya sudah cerita perihal pengalaman menggunakan BPJS untuk layanan operasi ambeyen saya, nah sekarang saya mau cerita tentang kepie rasane operasi ambeyen. Haha. Banyak yang ndak gitu percaya saya bisa sakit, la wong biasane yo kemayu. Tekan ngendi-ngendi, mrono-mrene, kabeh-kabeh dilakoni.
Jadi, saya nginep di rumah sakit tiga hari empat malam. Malam pertama sendiri karena belum ada penanganan yang berarti. Karena saya pakai BPJS, maka sebelumnya ya ngurus surat rujukan dulu di klinik fasilitas pertama. Rujukan kelar, datang konsul dengan dokter bedah, kemudian persiapan pre-op. Cek darah, rapid antibody saat itu, ronsen thorax, dll-dll yang tidak dicover BPJS, dan hari berikutnya lanjut nginep di rumah sakit. Selain itu juga diinformasikan yang harus dipersiapkan untuk operasi, selain untuk administrasi juga persiapan diri meliputi pencukuran bulu kemaluan. “Oh, oke”, batin saya.
Malam pertama. Jeng-jeng. “Mbak, nanti dipompa ya”, begitu kata perwat rumah sakit. Dipompa bagaimana, jal? Hahaha. Saya sama sekali tidak ada petunjuk tentang hal ini. Jadi, jebulane, dipompa yang dimagsud oleh perawat yang baik tersebut adalah, kotoran yang berupa tinja dikeluarkan secara paksa dengan cara diglonggong dari anus. Jadi, selang sepanjang 7cm dimasukan dilubang anus, kemudian dari ujung selang yang satu (panjang selang kurang lebih 1meter) dimasukan air hangat. Hal tersebut akan membuat perut mulas, kemudian terasa mau buang air besar. Nah, itu, dipompa namanya. Pemompakan dilakukan dua kali selama semalam tersebut, pemompaan terakhir lanjut dipasang infus. Saya juga berpuasa pas hari itu.
Proses pemompaan oke, puasa lancar, jam setengah 12 saya berganti baju operasi. Drama sebetulnya di bagian ini karena saya ganti baju sambil nangis. Haha. La pie, wong mboku janjine arep nunggoni le operai kog tekan arep wayahe operasi rung teko-teko. Wes kangsen bakal teko jam sewelas, jebul jam setengah rolas rung njedul. Sopo wonge ra merasa dikhianati, jal? Lebay mungkin, ya? Tapi kan saya wes dijanjeni. Jadi yo mesti tak arep-arep lah. Selesai ganti baju dengan segala drama kimbik-kimbiknya, simbok datang di jam 12 yang ternyata jatah operasi saya mundur di jam 2 siang. Oke. Menunggu sambil bengong saja karo sesekali turu.
Perawat masuk ke kamar saya, kemudian saya diajak ke ruangan operasi. Karena ya belum tindakan, pakai kursi roda saja. Sampai di ruangan operasi, naik ke tempat tidur, baju operasi diganti dengan kain untuk operasi. Oke. Masuk ruangan operasi, diajak ngobrol sebentar oleh dokter bius dan dokter bedah serta seluruh perawat di hari itu. Ternyata, posisi operasi ambeyen itu mirip dengan posisi ketika ibu melahirkan. Jadi ngangkang dan bius saya kebetulan tidak total. Jadi, saya masih bisa diajak ngobrol dan merasakan ketika disentuh. Meski merasakan ketika disentuh, namun tidak merasakan sakit oleh sayatan. Kalau njenengan pernah kesemutan, nah, rasane kurang luwihe sama seperti itu. Anggota badan yang kena bius jadi kebas.
Operasi lancar, semua oke, jahitan aman, lanjut ke ruang transit dulu. Saya diinfo kalau dipasangi kateter sekalian. Oke, jadi nggak bisa pipis ke kamar kecil. Kemudian perawat bangsal ketemu dengan perawat operasi dan ngomng kalau nanti bius sudah habis, bisa disuntikan pereda nyeri. Saya karena posisi sadar ya jelas mendengar semua yang terjadi di ruangan operasi. Sayangnya, saya tidak bertanya kira-kira kapan bius tersebut akan habis. Haha. Jebulane kui informasi yang penting.
Kembali ke bangsal tempat saya semula. All good, maenan hape, makan, kipasan, cek timeline. Tibalah di jam enam petang dan jebulane dramanya baru dimulai. Lebih hadeeeh ternyata karena di jam enam tersebut bius saya habis dan simbok pas pulang ke rumah karena ikut pengajian. Ndilalahe saya ditemani tetangga. Namun, karena saya anaknya gengsi wong ora kulinane, saya menahan rasa nyeri di anus dengan diam seribu bahasa. Ketika simbok datang, baru saya menangis meronta-ronta. Haha.
Jebulane, pasca operasi itu kan anus dijahit. Setelah anus dijahit, anus dipasangi tampon supaya darah tidak menetes langsung dan tekan ngendi-ngendi. Ya, monggo njenengan bayangkan, anus yang bersaraf banyak dan kecil-kecil itu disayat, kemudian dijahit, dan jahitan itu ditahan dengan tampon. jadi ya nyeri luar biasa. Saya menangis hampir sepanjang malam, pereda nyeri disuntikan lewat infus dan jebulane tidak mengurangi nyeri dengan signifikan. Pokoke, sewengi kui rasane saya kayak sakaratul maut. Saya menyebut nama Tuhan dengan banyak di malam itu. Saya menjadi manusia yang relijius malam itu.
Tengah malah saya meronta lagi karena nyeri semakin menjadi sedangkan pereda nyeri tidak membantu dengan maksimal. Suster datang dengan membawa balok es untuk dikompres di tengkuk. Dan jebulane itu adalah pertolongan terakhir karena pereda nyeri blas ndak isa ngewangi. Haha. Hasilnya? Membantu sekali. Saya tertidur sebentar dengan kompresan es tersebut, namun tidak berapa lama saya terbangun dengan kondisi masuk angin. Dyar, ra? Haha. Nyeri reda, masuk angin tiba. Saya gumoh dengan rasa tak karuan. Gumoh kan mengeluarkan makanan dari mulut, yang namanya anus kan memang punya gerakan megar mingkup secara otomatis sama seperti berkedip ya menurut saya jadi ya ketika gumoh kan kaya narik anus yang sakit itu. Jadinya tambah nyeri dan tambah nagislah saya. Tambah teriak-teriak pula. Kayaknya saya bawa rusuh di malam itu di bangsal rumah sakit. Yo ben lah, la lara tenan og.
Wes, hop, tak sambung bagian 2 ceritane. Iki wes kedawan.