-Tulisan ini sudah pernah ditampilkan di website jangongan.co , namun karena satu dan lain hal, saya muat di sini juga. Jikalau, ternyata saya sudah pernah memposting ini di sini, mohon dimaafkan dan dimaklumi. Saya lalen. Ada yang saya tambahi dan kurangi. Semoga tetap berkenan membaca. Terima kasih-
Bulan Februari tahun ini sepertinya sebagai bulan perayaan cinta massal. Bagaimana tida? Selain adanya hari Kasih Sayang di bulan ini, bulan ini juga banyak tanggal cantiknya. Sebut saja, 02-02-2020, 20-02-2020, 22-02-2020, dll. Akeh lah pokmen sek menggunakan momentum tanggal cantik di bulan ini untuk melangsungkan pernikahan atau mungkin lamaran.
Saya ndak mau membahas tanggal cantiknya dan segala weton atau jumlah primbonnya. Ndak pinter saya urusan begituan. Saya mau sedikit berbelok ke bagian perhelatan nikahannya. Iya, pesta perkawinan. Ewoh manten. Sebuah perhelatan yang kalau diadakan di tempat saya bisa sampai bikin punya hutang bahkan sampai anak sudah umur setahun.
Layak terjadi bahwa untuk menghelat sebuah persta ya butuh biaya. Segala printilan dari yang awalnya dianggap tidak perlu menjadi sesuatu yang wajib. Di lingkungan saya, kerap terjadi keluarga manten bahkan harus sampai mencari utangan supaya bisa menggelar pesta pernikahan yang ternyata lebih nduruti kekarepane tanggane daripada melihat ke isi kantong pribadi. Bahkan, ada yang hutangnya sampai belum lunas padahal anak sudah usia satu tahun. Nominal puluhan juta bahkan dirasa sampai kurang untuk memenuhi itu semua.
Kerap terjadi pula, bahwa yang punya hajat memang gengsinya tinggi. Ndak mau kalah sama tetangga sebelah yang kemarin sudah menghelat pesta pernikahan dengan mewah. Jadi ikut-ikut supaya dikomentari “Wah, Hebat! Nikahannya geden”. Padahal, apabila merunut semua hal yang harus dipertimbangkan dan ditelisik lebih dalam, pada akhir perhelatan dan itung-itungan sumbangan jebulane ora cucuk. Balik modal saja enggak. Bukan nggak mungkin kalau tahu sampai di seluk beluk paling dalam akan berakhir dengan komentar, “Woalah, jebul bar mantu malah utange akeh”. Dsb-dsb.
Tapi, siapalah saya yang menulis sekedar unek-unek ini dibanding dengan komentar, “ Rasah rame, aku nyaur utang ora njaluk koe!”. Lo laiya. Nek njaluk aku, aku yo wegah, aku yo klenger. Haha.
nun jauh sebelum dipostnya tulisan ini, saya kadang berpikir dari sekian puluh kali pengalaman datang ke mantenan, menjadi bagian dari panitia manten, atau bahkan mungkin pernah mantu, kenapa tidak belajar untuk lebih bijak dalam mengeluarkan biaya untuk ewuh manten? Bukankah seberuntungnya manusia yang pernah mengalami sebuah kejadian, lebih beruntung dia yang bisa melihat dan mempelajari sebuah kejadian supaya tidak mengulang kesalahan yang sama?
Jangan sampai, yang “wah” berakhir dengan “owalah”. Bukan begitu?