Njenengan semua, pernah ndak memilih untuk tetap berada di keriuhan supaya tidak sendiri dan tidak mendengarkan suara dari dalam diri? Terkadang. Serius, saya ingin menyatakan, berada di keramaian membuat manusia sedikit, atau katakanlah, sejenak “melupakan” segala gamang galau yang ada di hati. Sejenak menjadi orang lain untuk kemudian menjadi terpekur dalam suara dari dalam diri sendiri.
Ketakukan kalau nanti suara dari dalam diri akan menjadi gema yang membuat cengkeraman kuat lalu membuat sebuah keputusan yang bisa jadi tidak begitu bijaksana. Entahlah. Saya pun bingung ini mau berkisah tentang apa. Namun, ini adalah tentang diri sendiri.
Menyendiri bukan berarti kesepian. Beringsut sejenak dari segala hiruk pikuk dunia yang semakin membuat ambyar jiwa dan raga juga perlu. Menjadi egois dengan tidak memperdulikan sekitar juga layak dilakukan apabila memang harus.
Saya yakin, tiap-tiap manusia ada satu sisi hatinya yang beirisi lorong sunyi. Di situ, segala doa pernah dirapal dengan begitu rapi dan nyaring. Sayang, hanya terdengar untuk diri sendiri. Dirapalkan dalam doa kepada Tuhan saja tiada berani karena segala pudar ketika yang ada di kepala tinggalah kesalahan dan rasa berdosa.
Namun, Tuhan Maha Mendengar, Dia tidak menulikan diriNya. Dia mendengar, namun masih sambil lalu karena dirasa masih kuat untuk menghadapi semuanya sendiri. Naïf. Nantinya pasti aka nada waktuNya. Semua menjadi nyata, indah, dan akan diisi lorong sunyi tersebut dengan beribu syukur.
Bahkan, bisa jadi, lupa dengan semua duka dan lara. Penyertaan Tuhan di kehidupan manusia itu nyata. Menjadi orang yang tidak percaya akan keajaiban dari Tuhan tentu saja salah satu perbuatan yang tidak disukai sang Pencipta. Saat ini, biarlah menjadi seperti ini.
Lorong nan sunyi biar nyaring dalam gaungnya sendiri. Memantul mengikuti teduh angin semilir sepertiga malam, mengetuk pintu Tuhan. Menunggu dibukakan, menunggu diwujudkan. Jangan berhenti percaya kepada Tuhan.