Kemarin kanca cedak dari SMP mudik, Endang namanya, trus ngejak wisata kulineran. Salah satunya di Mangut Lele Mbah Marto. Sebenernya sudah lama saya mencicipi makanan nan katanya legend ini karena ya yang jual sudah sepuh. Ning kog ya lagi saiki le meh cerita ya? Hehe
Saya mengenal warung ini sudah sejak SMA. La pie, la wong pas SMA sobone nang ISI. Njuk reti deh. Pas ndisik njajal mangut lelene, belum sepedes sekarang. Atau mungkin kadar kepekaan lidah saya akan sensasi terbakar bernama pedas itu sudah berkurang sekarang ini. Entahlah. Tapi, mau pedas atau tidak, mangut lele itu selalu menjadi menu kesukaan karena kalau lelenya digarang itu bau sangit bikin tambah nikmat. Haha
Lokasinya memang sedikit masuk desa, agak mblusuk tetapi ya ndak njuk angel digoleki. Meskipun tidak ada papan penunjuk arah, untuk menuju tempat ini seakan “diarahkan” karena beberapa kendaraan terparkir tepat di pinggiran jalan dan kalaupun sampai tersesat warga sekitar sudah siap untuk membantu memberikan petunjuk arah. Selain lokasi, tempat makannya juga menurut saya tidak biasa. Benar-benar di rumah dan seperti di rumah simbah. Njenengan tidak akan disambut beragam atribut, ya seadanya masyarakat biasa. Bahkan terkesan ndeso namun semanak nek menurut saya.
Njenengan akan dipersilakan memilih sendiri tempat untuk makan. Di teras, longkangan samping wetan ngomah, di ruang dalam atau malah di pawon, jadi satu dengan kursi lincak kekuasaan Mbah Marto. Ya begitulah. Seadanya kalau urusan tempat. Bahkan njenengan ya bisa dengan langsung melihat proses pembuatan mangut itu sendiri karena memang pawonnya menjadi tempat untuk mengambil mangut tersebut. Menyenangkan dan seakan tidak diburu waktu karena waktu seakan terhenti di sini.
Kalau untuk pilihan menu, mangut menjadi menu utamanya. Kemudian ada menu yang lain juga kalau sekiranya njenengan tidak begitu suka dengan lele. Ada opor ayam. Pilihannya adalah ayam kampong atau ayam negeri. Kemudian, untuk sayur pendamping ada gudeg dan brongkos. Njenengan tidak akan menemukan tambahan sambel di sini karena mangutnya sudah pedas dan pedas bumbu mangutnya bisa menyatu dengan sayur pendamping lain tersebut. Wes, komplit. Kalau urusan minum, pilihannya hanya es teh atau es jeruk. Kalau mau cepat ya es teh. Nek saran saya, bawalah air minum sendiri ketika datang ke mangut lele Mbah Marto ini supaya njenengan tidak perlu menunggu terlalu lama untuk minumannya.
Lele yang digunakan di tempat ini adalah lele yang dibakar atu digarang. Ada dua, yang mlungker atau yang lurus. Kalau yang lurus menggunakan pelepah kelapa. Katanya membuat rasa lele semakin enak, padahal untuk lidah saya ya biasa saja. Ndak ada beda dengan yang mlungker. Ya yang bikin enak ki ya rasa sangit dari bakaran itu nek saya. Ukurannya yang dipakai untuk lele terkadang nemu yang besar kadang ya kecil. Ndak mesti juga. Bedane Cuma diukuran karena harganya sama. 20ribu untuk seporsi mangut dan segelas es the atau es jeruk. Harga yang masih pantas meskipun di wilayah mBwantul.
Nah, pas musim liburan seperti ini, saran saya kalau mau ke sana, datanglah di jam makan siang lebih sedikit. Ya setengah satu atau jam 1. Kalau kesorean terkadang sudah habis duluan, kalau kepagian kasihan perut karena pedasnya memang nonjok untuk saya. Siap-siap huh hah di sana nggeh, Lur 😀