Categories
Uncategorized

Buruh Rewang I

Masih ada hubungannya dengan postingan sebelum ini. Tapi, bahasannya akan lebih fokus ke kegiatan srawungnya.

Disebutnya rewang, berasan dari kata ewang yang berarti membantu atau tolong. Bukan, saya bukan ahli bahasa. Gur sok nggathuk-nggathukne wae. Nek tinggal di desa, kalau ada warga yang punya hajatan, biasanya para tetangga dimintai bantuan untuk memasak. Nah, itu disebut rewang. Jadi, kegiatan berkumpul bersama untuk memasak dan mensukseskan hajatan tetangga itu disebut rewang. Saya, cukup sering ikut kegiatan ini karena ya ndilalah e intensits tetangga saya kalau punya hajatan urut-urutan dan ndilalah e juga saya rewang nggak hanya di cakupan wilayah tetangga. Saudara dan kerabat juga kadang masuk hitungan untuk direwangi.

Nah, rewang ini biasanya ya sekadar menolong, jadi ya semampunya saja. Namun, ada beberapa orang yang sekarang ini memang lading pekerjaannya menjadi buruh rewang. Jadi, dia bekerja di sebuah hajatan. Dia tugasnya memasak. Biasanya memang dia yang pegang kendali untuk urusan memasak, bisa dalam bentuk memasak nasi (adang, ini susah, ndak semua orang bisa memang), atau urusan memasak lauk sekaligus mengarahkan akan seberapa jumlah memasaknya supaya nyukupi untuk kebutuhan hajatan tersebut.

Screenshot_2018-12-19-16-45-27

Buruh rewang ini saya baru kenal juga baru sekitar 5-7 tahunan belakangan ini, karena dulunya ya semua dikerjakan oleh warga sekitar saja. Menjadi buruh rewang memang harus orang yang benar-benar mampu. Tidak hanya mampu dalam hal memasak, namun juga mampu dalam hal kesehatan. Bagaimana tidak, biasanya seorang buruh rewang harus berada di lokasi hajatan sampai seminggu lamanya karena dimulai dari hari persiapan nasi untuk ater-ater. Kemudian persiapan untuk masakan ketika tamu nyumbang datang, hingga final ketika hari H. Ini jika yang punya gawe adalah orang yang mampu dan hajatannya akan geden. Maka dibutuhkan waktu yang lama bagi si buruh rewang untuk ngomah di situ. Bisa sampai nginep bahkan. Dan jebulane itu hal yang sudah biasa, saya saja yang gumunan.

Buruh rewang untuk memasak biasanya perempuan sedangkan untuk memasak nasi atau adhang biasanya lelaki. Tidak heran memang karena tenaga untuk adhang itu juga harus kuat dan stamina bagus. La ngangkat beras ki abot j. Biasanya tidak hanya memasak nasi tetapi juga membantu untuk menanak ketan kalau yang punya hajatan mau bikin lemper untuk ulih-ulih. Biasanya ditempatkan tersendiri dan di ujung karena memang butuh tempat yang luas dan dekat dengan air. La keceh terus pokoknya.

Biaya untuk seorang buruh rewang juga tidak murah nek menurut saya. Kisaran dari 100-175ribu seharinya. Kalau menginap, berarti makan ikut dengan yang punya hajat. Kalau lelaki, ya nambahi rokok. Kalau misalnya, yang buruh rewang pulang sebentar, ya dibawain sesuatu untuk keluarganya. Nanti, kalau hajatan sudah selesai, buruh rewang masih diberi semacam “turahan” makanan atau bahan makanan yang masih dipunyai si punya hajat. Bisa sekedar bahan makanan, bisa ditambah dengan bahan kain atau baju jadi. Sedikit tricky, tapi bukan berarti tidak bisa.

Itu jika yang dijadikan buruh rewang hanya 1-2 orang. Kalau lebih, ya monggo dikalikan sendiri. Biasanya pas hari H selain buruh rewang akan nambah buruh asah-asah. Ini juga kisaran harganya sama, tapi dia hanya bertugas sehari saja pas hari H. nek dihitung minimal, ya tiga buruh rewang itu sedengan. Akan menjadi 4 kalau hari H butuh buruh asah-asah. Ini lagi-lagi cakupan kebutuhannya kalau punya gawe geden. Kalau hanya cukup tiga hari ya kayaknya masih bisa dikurangi. La wong sebenernya kalau yang punya hajat itu orangnya sregep srawung dan tetulung, buruh rewang ki ndak gitu diperlukan kog. Ya tinggal lihat kondisi dan keadaan saja. Kabeh-kabeh ki lak gari butuh e. Gimana? Masih berpikir kalau hidup di desa itu murah? Hehe

Besok, kalau saya ingat, saya akan cerita lagi tentang buruh rewang, tetapi bukan untuk hajatan. La njuk? Untuk apa? Ya ndelok wae sesuk 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *