Categories
Uncategorized

Caos Dhahar

Saya sebenernya tidak yakin apakah saya sudah memposting cerita ini atau belum. Ning, semoga belum. Ya kalaupun sudah, nyuwun ngapunten, nggeh.

Jadi, di dekat rumah saya itu terdapat sebuah petilasan. Namanya, petilasan Watu Gilang. Berada di Desa Gilangharjo. Di sini, terdapat juga makam. Nek saya ndak salah, namanya Makam Kyai Gilang. Makam ini sering dikunjungi warga untuk berziarah. Beberapa orang berziarah ya membawa bunga dan bakar kemenyan saja kan ya, namun beberapa orang jaman dulu apalagi yang mau punya hajat biasanya membawa sesaji berupa ketan salak.

Screenshot_2018-07-18-17-12-48

Ketan salak adalah sebutan lain untuk wajik. Seain itu juga membawa sate hati sapi. Jadi, selain bunga, masyarakat yang hendak berziarah khususnya yang mempunyai sebuah keinginan tertentu juga sekaligus membawa keta salak, sate hati sapi, dan uang sajen. Nanti, akan dibantu oleh juru kunci makam Kyai Gilang untuk menyampaikan hajat. Bagi yang punya hajat, biasanya menunggu di depan pintu makam.

Untuk kebutuhan caos dhahar ini, khususnya ketan salak atau wajik, simbah saya sering dimintai bantuan untuk membuatkan. Biasanya, yang punya hajat datang seminggu atau sebulan sebelum sowan ke Watu Gilang untuk caos dhahar. Ada yang datang dengan sudah membawa keperluan pembuatan ketan salak, minus hati sapi, dan ada juga yang datang dengan membawa uang saja karena keperluan untuk pembuatan ketan salak dan ubo rampenya ketika sowan akan dibelikan oleh simbah saya. Biasanya, hari yang mereka pilih adalah Senin Wage atau Kamis Wage. Kenapa? Karena malamnya dalah Selasa Kliwon atau Jemuwah Kliwon. Tapi, ini bukan patokan pasti. Ada yang ngepasi ketika akan dimulainya hajat, atau ya ya penting sowan untuk caos dhahar. Hari jadi syarat nomor sekian. Semua bebas dan sah-sah saja menurut saya.

Simbah biasanya memulai pembuatan ketan salak dengan mandi keramas dulu. Beliau juga sebelumnya mengumpulkan kayu bakar dan segala keperluannya dekat dengan tempat beliau akan memulai masak. Semuanya. Sekumplitnya. Semua yang beliau perlukan. Kenapa? Karena ketika membuat ketan salak, beliau biasanya tidak mau diajak berbicara. Beliau fokus pada kegiatan membuat ketan salak tersebut. Sebenarnya, kenapa simbah sampai seakan “ditunjuk” untuk membuat ketan salak tersebut? Sebenarnya tidak juga. Mungkin ini hanya kebetulan.

Simbah saya ini kejawen, beliau belum mengenal agama Islam seperti generasi sekarang ini meski membaca surat alfatikhah ya bisa. Kemudian, simbah sudah tidak menstruasi. Jadi, nek bagi sebagian orang, orang yang sudah tidak mens ini dianggap suci dan sudah tidak ada tanggungan. Jadi, mereka dianggap sudah bebas. Ndilalah e, simbah kog ya masih sok sowan ke Watu Gilang kalau pas Suro jadi ya banyak yang mengenal beliau. Kurang lebihnya begitu.

Saya sering mengantar beliau sowan ke Watu Gilang memang, jadi sedikit banyak saya tahu bagaimana awal mulanya kalau ke sana. Apa saja yang mesti dipersiapka. Bahkan sampai berapa nominal yang biasanya disiapkan untuk sajen. Hehe

Setelah ketan salak siap, maka sore hari adalah waktunya ke Watu Gilang untuk caos dhahar dan mengirim doa. Ketan salak yang dipersiapkan adalah 2. Satu untuk dibawa ke Watu Gilang, satu untuk disimpan di rumah. Sate atinya juga dua. Saya tidak begitu ingat, tetapi, ketan salak yang dibawa ke Watu Gilang memang biasanya tidak dibawa pulang lagi. Ketan salak yang dirumah lah yang nantinya akan dipotong-potong kemudian dibagi-bagikan, atau dimakan orang rumah.

Tradisi caos dhahar ini sekarang ini sudah tidak seramai dulu kalau saya amati. Sudah sekitar 5-7 tahun belakangan ini sudah tidak banyak yang datang ke tempat simbah saya untuk keperluan ini. Hamper tidak ada malahan. Ada pergeseran yang signifikan yang saya rasakan. Apakah karena adanya semakin suburnya agama Islam berkembang atau orang-orang sudah semakin apatis dengan tradisi ini? Entahlah. Saya juga kurang paham. Namun, saya sendiri senang dengan kegiatan ini karena sebagaimanapun, saya melihat rangkaian keperluan caos dhahar sebagai sebuah ritual spiritual yang menyentuh.

Saya melihat sebegitu khusuknya simbah saya mempersiapkan segala keperluan untuk caos dhahar dari sesederhana menyiapkan keperluan untuk memasak sampai keperluan batin. Tak jarang simbah sampai puasa loh untuk ini. Apik ya.

Ya, cen terkadang ki ada yang hilang kog ya. Entah itu sebuah kebiasaan atau barang. Ya rapapa. Urip bakal tetep mlaku. Nek di tempat njenengan, apa yang dulunya sering ada dan membekas di hati namun sekarang ini perlahan hilang?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *