Beberapa waktu lalu, tersebutlah akun bernama at romeogadungan merilis vote tentang apakah menikah itu keputusan yang didasarkan pada rasionalitas atau emosi. Hasilnya terpaut tidak banyak dan saya termasuk di tim yang menjadi voting terbanyak pada waktu itu. Berapa hasilnya? Saya akan membagi cerita tentag itu sekarang.
Jadi, hasil dari pemungutan suara pada tahun 2017 tersebut, memenangkan keputusan rasional dengan perolehan 51% dan keputusan emosi sebesar 49%. Saya tidak begitu tahu, apakah yang melakukan voting ini adalah mereka yang sudah menikah atau belum. Ya namanya juga voting di Twitter. Ya data yang dihimpun nggak valid banget, tapi bisa dikulik untuk menjadi bahan diskusi, kan? Saat voting tersebut, saya ikut yang 51%. Saya berpikir, keputusan untuk menikah itu ya keputusan yang diambil secara matang, penuh pemikiran, dan tidak grusa-grusu. Apalagi dilakukan oleh orang yang katakanlah sudah dewasa, sudah berani jajan rokok pakai uang sendiri, sudah punya pekerjaan, dan mengerti akan tanggung jawab.
Bagi saya, keputusan rasional dalam hal ini harus didahulukan daripada keputusan emosi. Apalagi emosi sesaat ya, jangan itu. Eman hidup, lur! Menikah, di Indonesia ya berarti harus mau menerima pasangan dan keluarganya. Harus mau untuk menerima bahwa, misalnya, ternyata ada anggota keluarga pasangan yang pernah punya masa lalu tidak baik. Ada anggota keluarga pasangan yang suka utangan, ada anggota keluarga pasangan yang suka lambe torah, dan lain-lain, dan sebagainya. Itu, untuk bisa menerima itu semua, ya langkah awalnya adalah bisa menerima kelebihan dan kekurangan pasangan. Nah, kalau keputusan menikah lebih banyak menggunakan emosi, saya kog nggak yakin bakal langgen. La wong dealing dengan pasangan saja belum tentu satus persen oke loh, arep nambah ro keluargane. Repot mengko malahan, sis L
Itu baru tentang dengan pasangan dan pasangan keluarga, belum tentang pasangan menerima keluarga njenengan. Belum tentang ada anak, belum tentang bagaimana kehidupan berumah tangga akan dijalankan, dan lain-lain, dan sebagainya. Jika keputusan itu dilakukan hanya dengan emosi, ketahanan sebuah rumah tangga saya rasa tidak bisa dikatakan aman. Mungkin, beberapa akan ada yang berkata, “Halah, koe lak during nglakoni”, “Bismillah, ada Allah yang akan menolong hambanya”. Iya, saya tahu saya belum mengalami, dan iya, saya juga tahu bahwa dalam hidup ini ada kekuatan diluar jangkauan manusia yang bisa membantu atau diandalkan. Tapi, apa ya akan terus seperti itu? Dalamhal apa Dia selalu kita repoti dan Dia bersedia untuk membantu? Dan, seberapa sabar njenengan menghadapi cobaan sampai kemudian dibantu?
Nek perkara karena saya belum mengalami, jika boleh saya membagi sebuah cerita hidup. Saya menjadi yatim kurang lebih lima tahun, karena saya anak sulung otomatis simbok akan banyak berinteraksi dan diskusi dengan saya tentang keluarga. Ya masalah remeh seperti mau dimasakin apa, sampai masalah keuangan keluarga dan rencana ke depan keluarga saya. Kesampingkan dulu urusan sex, maka kehidupan berumah tangga bukan hal baru yang saya akan hadapi, karena ya saya secara nggak langsung “terlibat” di situ. Saya ada, karena kahanan, tetapi saya belajar banyak dari kahanan tersebut. Dan saya, merasa beruntung karena sedikit banyak saya jadi tahu. Selain itu, saya juga banyak mendengar cerita tentang kehidupan berumah tangga. Ya tidak melulu tentang bahagia na na ni na wa la na ni na hahay seperti pas pacaran. Ya beda aja banget, sis.
Lantas, apa saya tidak percaya dengan pernikahan? Ya nggak gitu juga, saya tetap senang dengan orang-orang yang berani menikah. Saya tetap ikut berbahagia dengan mereka yang berani untuk melangkah lebih jauh lagi dalam hidup. Tetapi, poin saya adalah menikahlah dengan keputusan yang matang. Bukan keputusan yang terburu-buru tanpa ada rencana dan sekedar ikut arus. Soalnya, nek bukan njenengan, yang rugi siapa kalau ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan?