Categories
Uncategorized

Sultan Agung: Apik!

Setelah sebulan lalu nglurug nonton nganti tekan Magelang, akhirnya kemarin nonton di kota sendiri. Niatnya, nek layarnya masih, mau nontong Searching, e la kog ndilalah e uwis mudun. Akhirnya ya nonton Sultan Agung.

Kenapa Sultan Agung dan tidak mengikuti demam The Nun? Karena jatah film horror yang akan saya tonton sepertinya sudah khatam di Pengabdi Setan. Wes, hop. Cukup tekan Pengabdi Setan. Ra bakal tak tambahi nonton film horror meneh. Matur nuwun.

Keinginan saya nonton Sultan Agung juga karena kesukaan saya akan sejarah. Biar bagaimanapun, saya lakya orang Jawa, ya seneng nek tahu asal usul rajanya. Mosok sering dolan ke Makam Raja Imogir ora reti sejarahnya, kan wagu. Karena itulah, akhirnya kemarin saya benar-benar meluangkan waktu untuk nonton. Rencana ini sudah saya rancang sedari saya tahu kalau akan ada film ini bahkan. Haha

IMG_20180912_200132

Sek, saya tak matur dulu. Di sini saya nggak akan bercerita tentang alur ceritane Sultan Agung loh, ya. Saya bukan reviewer dan pastinya njenengan juga bisa cari-cari synopsis film ini di internet. Oke, tekan semene njenengan paham nggeh. Hehe

Pas pertama layar memulai film, suara lantang Pak Landung Simatupang langsung saya kenali. Mengisahkan sedikit cerita dari film ini lantas diteruskan dengan adegan per adegan. Di mulai dengan perkelahian namun itu hanyalah latihan. Set awal adalah sebuah padepokan bernama Jejeran, tempat di mana Raden Mas Rangsang (Sultan Agung) menimba ilmu kanuragan dan agama ditampilkan dengan begitu apik. Sumpah! Itu setnya kepie le gawe? Iso apik dan adem banget gitu. Iju dan suara asli binatang di sekeliling tempat tersebut nyata. Rasane studio berubah menjadi set padepokan seketika. Cling!

Kekaguman saya tidak hanya sampai di cerita dari Sultan Agung itu sendiri. Lanjut ke set, kemudian ke kostum. Wes lah. Nek dari set, latar, dan segala printilannya, saya sangat menganga dari awal sampai akhir. Detil dan ciamik sekali. Rasanya, riset untuk film ini tidak main-main. Semua dipikirkan dengan jeli dan cermat. Salut saya.

Untuk kostum, semua kawula pakaiannya ya polos dengan warna yang berbeda-beda. Untuk pemain dengan jabatan tertentu, surjan dan lurik sangat mendominasi dan semuanya oke punya. Yang saya tidak habis pikir, untuk membuat semua pemain siap sampai saat take dimulai, itu butuh waktu berapa jam? Terlebih lagi ketika adegan Jumeneng Nata Sultan Agung, terdapat penari di adegan tersebut lengkap dengan sanggulnya. Kui le lekas sanggulan jam piro jal? Ning njuk otak saya kembali mikir, bisa saja itu penari sampai di lokasi sudah siap sedia bersanggul seperti itu bahkan kostum juga sudah dipakai. Pas lokasi tinggal langsung cus sat set bat bet. Rebes!

IMG_0320

Film kolosal ini sisi romantisnya nggak banyak, tapi jangan salah. Saya dibuat beberapa kali harus ambil tisu karena ada adegan yang membuat saya menangis. Adegan pas Rangsang pamitan sama Lembayung, saya seakan melu ngrasakne le ngelu. Adegan pas Jumeneng Nata, saya juga nangis, la kepie, megah dan marai ndredeg gitu. Kemudian adegan pas Lembayung berkelahi dengan kakanya sendiri, Seto. Ngelu saya. Ngelu penuh pilu.

Di akhir film, ketika Jendral Coen “bertemu” dengan Sultan Agung, terdapat dialog yang kurang lebih berkata, “ Bangsa tuan terlalu banyak bekerja lidahnya, bukan tangan dan kakinya” sepenuhnya membuat saya tertampar. La kepie? Cen nek didelok-delok luwih akeh sek seneng ngrasani mbangane temandang reresik omah. Luwih seneng do caturan ra penting daripada ngrampungne gaweane. Lak repot.

Dari segitu banyaknya pemain, ada satu yang saya langsung menjadi fans-nya. Terlihat lucu banget dan menarik pas di adegan Jumeneng Nata. Namanya Haru Sandra Harindra. Pas dia ngasih jempol ke Rangsang, saya langsung mesam-mesem dewe. Njenengan kog lucu to, mas. Hihi 😀

Christine Hakim perannya cocok. Untuk Meriam Bellina, maaf-maaf ini, raut “bule”nya masih bisa dilihat. Ning yo nggak masalah buat saya. Saya masih oke-oke saja. La wong yo gur gari menikmati (just in case ada yang mau bilang, “rasah nyacat! Jajal koe gawe film dewe!”. Nih, saya sudah ngomong sendiri).

Film ini juga membuat saya semakin cinta sama Bantul, khususnya Imogiri. Bentang tanahnya indah. Lahan suburnya sukses memberikan aura nan ciamik untuk film ini. Segala lumpur yang berserakan hingga ke tubuh pemain, jejak tapak daun yang melambai, membuat semuanya berpadu dengan indahnya. I love my regency. A lot! Ndue stadion e juga e kabupatenn saya ini. Mosok ora cinta. Pitikih.

Nek secara keseluruhan, film ini salah satu yang saya sukai dan saya rekomendasikan. Sepertinya ini film ke dua setelah Ziarah yang banyak menggunakan bahasa Jawa. Not a big problem juga misalnya njenengan bukas asli dari Jawa karena terdapat subtitle yang akan memberikan informasi dialog apa yang sedang didialogkan.

Misalnya njenengan punya anak usia 8 atau 9 tahun, saya rasa masih oke untuk nonton film ini karena adegan dewasa juga minim. Akan tetapi, adekan perangnya ada. tetapi bukan yang perang asal perang, perang karena ingin mengusir penjajah kan ya akan menambah rasa nasionalisme to? Jadi, mumpung belum turun layarnya, monggo loh kalau mau nonton 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *