Categories
Uncategorized

Pedhot Tresna

Setahu lalu, Ya Allah suwene, saya iseng membuat polling di Twitter. Babagan pedhot tresno alias putus cinta. Sek melu voting gur sitik. 36 uwong dadine ya nggak bisa dijadikan tolok ukur. Meskipun demikian, bisa dijadikan sedikit bahan renungan. Untuk saya, lebih tepatnya.

Waktu itu saya memberikan pilihan antara lain, banda (harta), agama, wongtua (orangtua), dan lanangan/wedokan liya (lelaki atau perempuan lain) sebagai pilihan dari alasan kenapa kog bisa pedhot tresno alias putus cinta. Hasilnya bagaimana? Jebulane, 44% dimenangkan oleh lanangan/wedokan liya. Jadi, di poling tersebut, lelaki atau perempuan lain dianggap sebagai hal yang membuat seseorang putus cintanya.

Screenshot_2017-09-05-16-28-39

Posisi selanjutnya adalah agama (28%), kemudian harta (25%), dan yang terakhir adalah orangtua yang hanya dapat 3%. Baiklah, saya akan coba membagi yang ada di otak saya ketika mengetahui hasil poling ini. Mulai dari yang kecil dulu yes, 3%. Dari hasil ini bisa saya simpulkan kalau di masa yang modern ini meskipun itu poling dilakukan tahun 2017, nyatanya peran orangtua dalam menentukan masa depan pasangan anaknya ya nggak gede-gede banget. Anak diberikan keluasan dan kekuasaan penuh untuk menentukan dia mau menjalin hubungan dengan siapa. Mungkinkah golongan 3% ini golongan orangtua yang kalau nggak Ninja nggak cinta? La kan sekarang wes jaman e nek ora Fortuner ora dauber, buk.

Naik lumayan banyak di angka 25% yang pedhot tresno karena banda. Harta. Cukup akeh ya, separuh j. masuk akal nek untuk saya. La yo sopo wonge gelem bebrayan karo uwong sek katakanlah ya biasa wae sedangkan deknen ki termasuk sek pengeluaran e gede. Tidak bisa jadi patokan juga sebetulnya karena kan misalnya saat ini ya di level menengah, njuk karena kegigihan dan kerja keras akhirnya naik di level atas meski tidak menutup kemungkinan karena prinsip sak kalire dadine di level bawah. Semua bisa terjadi dan we never know, right? Jadi, screening selain deknen saiki kahanan (ekonomine) kepie juga mencakup screening deknen ki gelem temandang gawe dan ubet ngupoyo apa ora ki perlu. Dalam kasus ini.

Lanjut ke angka berikutnya. 28%. Pedhot tresno amarga agama. Ya pie, ya. La kan urip nang Indonesia sek Bhineka Tunggal Ika ki raiso njuk merem nutup mata nek jebulane ki ya urip ki bersanding dengan yang berbeda. Untuk bersanding sebagai tetangga yang saling bergotong royong ketika dalam kesusahan atau hajatan mungkin masih oke. Cilice ngewangi ngentasi pemehan, gedene nganti njaluk gula pasir ki ya itungane masih bisa ditolerir, tetapi kalau urusan bebrayan kog kayaknya belum banyak yang bisa mahfum dan memperbolehkan. Ada begitu banyak kasus pedhot tresno amarga agama meski ada banyak juga yang sukses bahkan sampai beranak cucu. Urusan agama, nek saya, bagi yang berprinsip ini krusial, baiknya diselesaikan di awal hubungan saja. Akan tetapi, namanya juga manusia dan berhadapan dengan cinta (ahelah,dek) mana ada logika dipakai, ya kan? La wong terkadang malah mending tumbas ning getun dari pada ora tumbas dan getun alias, we lah lakoni ndisik. Urusan ngko bakal tekan ngendi ya dimanut saja.

Sek keri dewe, 44%, alias amarga lanangan/wedokan liya. Karena ada lelaki atau perempuan lain. Sebenere, nek kanggo saya, ini bisa “ngrangkum” 3 alasan di atas juga. Jadi gini, putus cinta karena ada yang lain yang ndilalahe orang tua setuju, ekonomi lebih baik, dan se agama. Tekan semene njenengan paham magsud saya? Jadi, bisa jadi alasan terbesarnya dan utamanya ki yak arena ada yang lain. Bukan karena orangtua, harta, apalagi agama. Ya dasarnya manusia aja suka nyari-nyari alasan. Makanya ya dipakai alasan standar untuk berpisah dari pasangan supaya bisa dengan yang lain itu tadi. Ini nek menurut pendapat saya loh, ya. Watone ora dipedhot amargo koe kapiken nggo aku wa, yo ra? Haha 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *