Categories
Uncategorized

Urip nang tabon; Tombok setenggok ora ketok

Sebenernya mau nulis tentang ini sebelum lebaran kemarin supaya waktunya pas. Sayangnya, rencana ya tinggal rencana, kemalasan yang membuatnya menjadi akhirnya ditulis saat ini. Ya rapapa.

Sebelumnya, saya mau member sedikit informasi tentang apa itu tabon. Ini adalah istilah dalam bahasa Jawa yang kurang lebih berarti rumah induk. Jadi, judul di atas kurang lebih berarti, hidup di rumah induk; berkorban banyak tidak ada yang tahu. Kurang lebihnya begitu.

Orang-orang yang tinggal dengan rumah induk atau satu atap dengan orangtua biasanya adalah anak laki-laki, meskipun ada juga yang anak perempuan. La kalau anaknya semua perempuan, mosok yo njuk nganak-anak e anak lanang. Kan ya malah nambah-nambahi gawean to?

Biasanya, mereka yang tinggal di tabon ini memang harus banyak-banyak bersabar dan sering beristighfar. Ya coba njenengan bayangkan, misalnya njenengan adalah seorang menantu, ndilalahe kejatah urip nang tabon yang kog ya ndilalahe meneh mertuane njenengan ki kenikmatannya sudah banyak dikurangi oleh Gusti Allah dan kembali ke sifat kanak-kanak nya. Njenengan harus mau beradu bicara dengan orang yang sudah dikurangi kemampuan mendengarnya, dikurangi kemampuan nalar untuk berfikirnya, bahkan bisa saja sudah dikurangi daya ingatnya.

Masalah akan muncul ketika pada saat ada acara di tabon atau yang berkaitan dengan kumpul-kumpul keluarga. Nikahan, sunatan, lebaran, natalan, bahkan kematian. Ya kurang lebih seputar itu lah, sekecil acara pengajian sebesar kalau ada yang punya hajatan. Namanya juga tabon, pasti bakal jadi tempat utama untuk berkumpul dan bercengkrama, mengenang masa lalu dan makan-makan.

Nah, berkaitan dengan hal yang terakhir saya sebutkan tadi, makan-makan, pasti ya nek dinalar, akan tidak sedikit logistik yang disediakan oleh yang tinggal di tabon. Sesederhana gula, teh, dan kue kering sampai dengan semeriah ada makan dengan menu utama berbahan daging. Bagi yang orangtuanya sudah sedikit dikurangi nikmatnya tadi, kalau kelewatan Gusti Allah menguranginya, yang ada malah kisah tidak mengenakan tentang yang ikut tinggal di tabon, bukan sebuah cerita penuh haru betapa yang ikut tinggal di tabon itu sudah mencurahkan semua yang dia punya untuk memberikan sajian yang enak.

Tidak perlu sepertinya untuk teralu jauh berbicara tentang sajian makanan, semudah hal tentang membersihkan dan ikut merawat tabon saja terkadang menjadi hal yang lalai diperhatikan. Sekecil ikut nyapu latar, sampai ikut memperbaiki kalau-kalau rumah ada yang cacat. Genteng bocor, lantai plester soak, sampai perkara ngecat tembok. Ya kudu digatekne toh. Namanya akan kedatangan tamu, pasti semua disiapkan biar ketok wangun disawang.

Diakui atau tidak, terkadang kerabat atau handai taulan yang datang mungkin setahun hanya sekali tapi sekalinya datang sering membawa oleh-oleh bahkan sampai ninggali akan terlihat lebih wah dan bagus disbanding yang setiap hari menemani. Terkadang yang disanding akan kelihatan banyak tidak bagusnya, sesederhana cerewet sampai ya terkadang mbanting sapu kalau ndilalahe suarane ra enak dirungokne. Padahal ya paling gur carane sek kleru, dan dalam kondisi yang sama-sama capai.

Meskipun demikian, tentunya rasa saling menyayangi itu tetaplah ada. Ada celah pahala nan besar diberikan kepada mereka yang mau dengan senang hati dan berbesar hati ikut tinggal di tabon dan merawat orangtua. Amin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *