Tulisan ini sebenernya sudah nangkring di folder dari awal bulan puasa kemarin, tetapi karena ya saya malas, makanya baru bisa di selesaikan di minggu awal-awal lebaran.
Aja murka di sini maksud saya bukan jangan marah. Murka di sini saya menggunakan bahasa jawa yang artinya rakus. Jadi, aja murka di sini maksud saya adalah jangan rakus. Sekarang, jadi paham nggeh njenengan kenapa dari awal puasa saya sudah memikirkan tulisan ini. Kurang lebihnya ya karena saya sedih dengan adanya kebiasaan orang berpuasa yang seakan akan melahap semua makanan di siang hari saat puasa, kemudian melampiaskannya dengan membeli begitu banyak makanan yang sebenernya nanti ketika berbuka hanya akan dimakan paling sepertiga nya saja. Akhirnya? Ya dibuang. Nah, rakus yang seperti itu yang saya mau garis bawahi. Kebiasaan berboros ria dengan mengagungkan sifat rakus, kabeh-kabeh pengen dipangan. Padahal ya cuma pengen. Pas waktunya tiba ya gur mak plenyik kaya midak telek kae.
Sebenernya, bukan pada saat berpuasa saja kebiasaan ini terjadi. Pas hari biasa juga terkadang seperti itu. Ngalu amah, menggelorakan nafsu untuk memakan semua makanan. Sehingga jadinya malah boros dan banyak yang terbuang dengan percuma. Jika tidak saat puasa, maka saat apa saja manusia seperti itu? Yes, njenengan bener kalau menebak ketika menggelar hajatan. Iya, saya mafhum kalau ada yang sengaja melebihkan makanan supaya tidak kehabisan kalau masih ada tamu yang datang. Saya juga paham, kalau makanan yang mungkin dipesan juga sekalian untuk hantaran ke tetangga atau kerabat. Meskipun demikian, apakah tidak bisa, misalnya, mengkalkulasi dengan teliti dan cermat akan seberapa pesanan makanan pada saat hajatan tersebut? Itu bagi yang punya acara. Bagi yang datang diundang juga terkadang lebih embuh lagi. Terkadang karena aji mumpung, lantas mengambil makanan yang berlebihan yang akhirnya ya hanya akan berakhir di tempat sampah alias dibuang. Nek yang punya hajat menggelar hajatan di rumah dan punya ayam masih mending. Nek enggak, ya akhirnya bakal war-wer dibuang itu tadi. Kan eman-eman to?

Dari banyaknya kejadian yang membuang-buang makanan tadi, khususnya ketika datang di sebuah hajatan, say amenjadi berfikir, kenapa tidak mengambil makanan yang disajikan seperlunya dulu? Kalau masih mau makan lagi, ya tinggal ambil tambah, kalau tidak kan jadinya tidak menyisakan makanan untuk dibuang. Kemudian, misalnya sebagai yang punya hajat, pesanan makanan bisa kog dikalkulasikan dengan teliti. Misalnya, karena kalau datang di acara hajatan kebanyakan tamu akan menyerbu bagian gubugan, maka bagian buffet dengan sajian nasi beserta lauk ya dikurangi. Toh, sekarang ini nek saya lihat orang juga sudah mulai jenuh dengan nasi, atau ini ya saya sendiri dan keluarga saya. Jadi, nek menurut saya, mengurangi hingga separuh dari total tamu undangan untuk sajian makanan utama masih aman. Meskipun begitu, jangan lantas gubugan disiapkan pas. Bisa dari pengurangan buffet main-course dialokasikan ke gubugan. Cukup adil kan?
Saya beberapa hari lalu juga melihat salah satu gambar yang menjelaskan kalau Indonesia ini merupakan negara kedua penyumbang sampah makanan terbesar di dunia. Negara pertamanya siapa? Arab. Rasah kaget. Biasa wae. Maka dari itu, yuk, kurangi buang-buang makanan. Eh, tunggu dulu, saya juga kemarin nemu salah satu video tentang adanya kegiatan yang menyalurkan makanan bagi yang membutuhkan dengan menggunakan makanan dari orang yg punya hajat. It’s kind of recycling the food for the needed. Bisa jadi solusi kalau misalnya njenengan sedikit meleset mengkalkulasi kebutuhan makanan pas punya hajatan. Cek videonya di sini deh, gaes.
Aja murka. Jangan rakus. Bisa jadi perilaku itu karena terlalu ngalu amah. Kabeh sek dipengini njaluk dituruti, padahal itu cuma kepengen saja. Sepertinya itu berlaku tidak hanya perkara makan deh. hehe