Rasane kog uwis suwiiiiiii banget ora nulis, dadi ya setelah liburan sebelum puasa sudah usai, saya mau kembali menulis dan bercerita lagi 😀
Jadi, kemarin itu judulnya mencoba dolan ke Bandung dengan biaya yang semurah mungkin. Pokoknya, cari tiket yang paling murah dan tempat menginap yang paling sederhana. Untuk makan pun pokoknya ya yang sesederhana mungkin meskipun ya banyak gagalnya. Haha!
untuk cerita besaran biaya sepertinya saya akan cerita di lain tulisan, karena sekarang saya mau fokus pada makanan yang kemarin sempat saya cicipi dan jebulane Masyaallah, sukses membuat saya geleng-geleng kepala. Kenapa?
Karena enak banget dan harganya yang bisa dibilang mihil 🙁 (kanggoku)
Itulah kenapa saya bilang failed untuk cita-cita makan seadanya dan semurah-murahnya. Hari ke-dua di Bandung saya dolan di seputaran kota Bandungnya, ya wilayang Alun-alun, Jalan Asia Afrika, Braga, dan Masjid Raya. Karena pas siang hari dan pas sarapan ya gur apa adanya, akhirnya diputuskan sekalian untuk makan di sekitar kota saja. Googling sana googling sini akhirnya nemu sebuah tempat makan bernama Linggarjati. Lokasinya sangat mudah dicari dan tampilan di layar handphone sukses membuat langkah kaki saya menginjak lantai warung makan ini. Saran saya, kalau njenengan mau coba jajan di sana dan bawa kendaraan pribadi, parkir di basement Alun-alun saja, karena lokasi warungnya sangat nyempil dengan lahan parkir yang sangat terbatas.
Begitu ketemu warung makan berwarna hijau terang nan menyejukan ini dan penampakannya yang cenderung oriental, saya lantas bertanya dengan petugas di warung Linggarjati. “ Mas, ayam kan ya bahan dagingnya?”, tanya saya. Sontak langsung dijawab dengan, “Iya, mbak”. Lega lah hati saya saat itu juga. Kesan selanjutnya adalah kebersihannya. Wadaw, jangan ragu pokoknya. Dari mulai bagian depan warung sampai dengan kamar mandinya, semuanya bersih dan terang. Ukuran warung sebenernya tidak begitu luas, meskipun demikian, pas warung ramai bahkan cenderung penuh tidak terasa panas karena sirkulasi udara dibantu dengan kipas angin di langit-langit warung. Pokoknya mantap soul gitu lah.
Tibalah melihat menunya. Ada banyak banget pilihan menu dan membuat saya cukup bingung. Yamin, bakmi, bakso, pangsit, bla-bla-bla, dan akhirnya pilihan saya jatuh pada Mie Ayam. Tidak pakai tambahan pangsit karena tidak ada pangsit goreng, dan tidak pakai bakso karena teman sudah ada yang pesan bakso (mau ngrusuhi gitu ceritanya). Lagipula, sedari semalam mencari menu bakmie ya belum nemu yang sesuai dan sekaligus ingin mencicipi defaultnya Bakmie Linggarjati itu seperti apa, DAN ketiadaan harga membuat saya berfikir “Iki mesti larang”. Hehe 😀
Sembari menunggu pesanan, saya melihat sekeliling dan berfikir banyak sekali. Mulai dari banyaknya yang tumbas adalah orang-orang yang sampun berumur dan sepertinya ke warung ini untuk nostalgia, mereka yang muda namun dandanan wangun karena pasti dulunya ke warung ini karena diajak sama orangtuanya, sampai dengan “Kog sek tumbas wangun-wangun, mesti setimpal iki regane”. Gitu lah.
Akhirnya datang juga pesenan saya dan pas saya mencicipi minumannya dulu, saya langsung mbatin, “Tenan! Iki mesti regane duwur!”. Waktu itu saya pesannya es jeruk, dan rasanya jeruk banget. Sebenernya ada saran untuk mencoba es shanghainya, tapi sudah telat wong saya sudah pesan es jeruk. Sepertinya es alpukatnya juga enak di warung ini, efek ndelok sek pese es alpukat akeh. Haha. Pas minum es jeruk itu, rasanya haus saya selama ini tersembuhkan dengan minuman tersebut, meskipun terlalu manis kalau untuk lidah saya. Iyuh, giung euy!
Tiba saatnya bakmie pesanan saya datang. Tampilannya biasa, tapi saya melihat yang berbeda karena tampilan ayamnya bukan sembarang ayam. Pas saya cicipi, benar saja, ayam kampong yang mereka pakai. Irisannya memang kecil, tapi rasanya membuat saya tidak berhenti bersyukur kepada Tuhan bahkan saya terharu. Kuahnya juga sangat kuat, sepertinya kaldunya dari ayam kampungnya juga jadi ngeblend banget gitu. Bakmienya lain dengan bakmie ayam pada umumnya, kalau disbanding dengan yang di Jogja loh ya. Entah kenapa ini bakmienya padet meskipun ukurannya kecil. Ibaratnya, cilik-cilik mentes. Jadi, wes lah sampai dengan suapan terakhir juga saya sangat terkesan dan keenakan. Bakmienya tanpa sawi hijau dan sajiannya menggunakan seledri. Jauh banget bedanya dengan bakmie yang pernah saya makan.
Pas jajan itu juga saya sempet ngrusui pesanan teman saya, bakso, satu porsinya isi sekitar sepuluh dan rasanya Subhanallah, ENAK BUWANGET!. Pas itu saya sempat bilang, “Iki paling sijine mangewu baksone”. La saking enaknya dan empuk tapi rasa dagingnya kerasa banget.
Malam sebelumnya nyobain Bakso Boedjangan dan rasanya oke. Untuk harga juga menurut saya masuk kantong alias terjangkau lah. Tibanya dengan warung ini memang njomplang tapi saya puwas.
Kemudian, tibalah waktu membayar. Saya berjalan ke kasir dengan uang yang sudah saya lebihkan. Dan benar saja, pas itu saya kalau tidak salah habis sekitar empat puluh satu ribuan untuk seporsi bakmie ayam, es jeruk, dan segelas air es. Meskipun demikian, saya sangat senang karena ya cen ana rega ana rupa. Lagipula, ini menjadi salah satu pengalaman saya di kota lain yang bisa jadi pegangan untuk besok-besok kalau dolan lagi ke kota lain.
2 replies on “[ Bandung Series ] Bakmi Linggarjati Bandung; Ana rega ana rupa”
[…] bakmi yang enak dan membuat saya kaget. Haha. Postingan lengkap di sini ya. Monggo […]
[…] ini bakal jadi cerita terakhir untuk Bandung Series. Cerita sebelumnya ada di sini, sini, dan sini. […]