Tulisan ini tidak ada maksud untuk pamer atau sombong. Saya, mau berbagi cerita.
Ketika bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa sudah datang, biasanya masyarakat di lingkungan tempat tinggal saya akan mengadakan Ruwahan atau Nyadranan. Sebenernya, tradisi ini masih ngikut dari jaman dulu Hindu dan Budha masih berkembang di Jawa, tetapi masih dilakukan sampai dengan sekarang. Ya ndak papa, nggak masalah juga nek menurut saya, wong ya tergantung dari kita mau menilainya dari mana dan seperti apa. Nek saya pribadi ya bagus, wong njuk saya jadi ingat dengan leluhur saya, saya jadi ingat dengan segala kesalahan dan saya menjadi kelingan kalau saya jebulane ijik ndue utang poso dan durung kesaur padahal sasi pasa dilit engkas teko. Sokor, Dek!
Di lingkungan saya, mBantul iring kidul ini, tradisi Nyadranan atau Ruwahan identik sekali dengan saling berbagi hantaran. Dalam hal ini, nek di keluarga saya bentuknya nasi lengkap denga lauk dan sayur bahkan sampai kerupuk, semacam uleman tetapi nanti bedanya hanya pas masrahke aja. Beda tembunge gitu lah. Biasanya, diberikan kepada tetangga dekat, tetangga yg dituakan, kerabat, dan handai taulan. Nek kemarin saya ngirim sekitar 40 paketan dan semuanya dikompliti sama simbok.
Simbok saya adalah tipikal orang yang weh-weh, aka suka memberi, dan ndilalah bapak saya juga gitu dan saya ya nurun aja. Maka, hantaran nyadran kemarin sebegai bentuk sodakoh dan rasa sayang simbok ke orang yg diberi. Memang tidak semua kerabat dikirimi, tetapi yang dikirimi tersebut kebanyakan ya yg sudah dituakan oleh kami sekeluarga. Tembunge juga saya harus jelas, sodakohan dalam rangka nyadranan. Supaya tidak terjadi salah paham, nanti nek dikira uleman lak malah repot kalau nerima sumbangan. Hehe..
Biasanya, sesudah kami mengirim hantaran tersebut, akan tiba waktunya kami untun “oleh” atau kasarane ya panen dari hasil kami nandur kemarin. Ini nggak mesti lantas kami dapat hasil yg sama, dalam artian kan kemarin bikin hantarannya 40 paket, terus akan dapat 40 paketan hantaran kembalian dong ya? Nggak gitu, lur. Lagipula, hitungan kami kan bukan nominal tetapi tanda tresna, jadi ya kami sebenernya tidak lantas ngarep-arep endog blorok. Kami diberi, kami bersyukur dan berterima kasih; kami tidak dikembalikan untuk diberi juga kami tidak mengharap karena kan hitungan sodakoh dalam rangka nyadran.
Bisa jadi, balasan bagi kami dalam bentuk rejeki yang lain, misalnya saja umur yang bermanfaat, teman yang baik, pekerjaan yang halal, menjadi tidak menyebalkan, dan lain sebagainya. Bagi kami, tradisi nyadranan ini sebagai bentuk refleksi dan koreksi diri kami untuk melangkah lebih baik lagi di hari-hari kedepan. Biasanya, setelah hari hantaran tersebut, simbok akan sangat bersyukur karena tahun ini diberikan rejeki baik berupa usia maupun materi untuk tetap bisa berbagi.
Berbagi hantaran selesai, lantas apa? Kami berkumpul dengan warga kampong di hari yang sudah ditentukan untuk melaksanakan kenduri sekaligur berkirim doa kemudian makam bersama. Biasanya hari tersebut jatuh pada hari setelah tanggal 20 di penanggalan Jawa. Ada selikura, selawenan, atau malah rong-puluhan. Tergantung dari kesepakatan saja. Kekhasan di kebiasaan saya yang biasanya saya ikuti adalah, saya akan ke Makam Sewu sekalian untuk melihat gunungan. Ramene poll nek di sana.
Sebagai pungkasan, tentu saja nyekar ke makam leluhur. Sebenarnya ya nyekar seperti biasa saja, tetapi menjadi istimewa kerana nyekar pas bulan Ruwah adalah nyekar dengan khas bau bunga telasih atau kalau saya tidak salah bunga Lavender. Lavender versi kampong nek ini. Hehe..
Sugeng weh-weh ben ana sek oleh, Lur 😀