Jadi begini, tadi kan judule saya jagong manten. Nah, di banyak kesempatan yang sudah-sudah, kalau jagong manten dengan gaya duduk itu selalu ada acara semacam pengajian singkat yang diisi oleh seorang pemuka agama. Tadi juga begitu, seorang lulusan ilmu sosial menjadi ustadz dadakan, katakanlah begitu, di acara jagong manten tadi.
Saya, beberapa kali ngrasakne dan mikir kalau sebenernya ini itu nggak begitu penting. Kalaupun mau ada acara seperti ini, mbok ya tulung kui kyai atau ustadznya debriefing dulu. Dikasih tahu baiknya hal-hal seperti apa yang layak dan patut dilempar ke khalayak atau tamu undangan atau masyarakat. Nek saya gatekne, para kyai atau ustad ini sering sekali menggunakan kata-kata yang nyrempet ke hubungan suami-istri, menggunakan gojegan-gojegan yang bagi saya wagu *oke,standar lucu memang beda-beda
Apa ya nggak sebaiknya hal-hal yang bersifat pribadi tersebut diberikan ke pengantin pas di kelas pelajaran pra-nikah aja. Kan ada toh, kelas pra-nikah bagi mereka yang mau menikah. Monggo digodog disitu, bagaimana doanya, bagaimana tata aturannya, bahkan sampai posisi-posisinya. Monggo, pak, tapi tolong jangan di acara perayaan nikahnya. Kesannya menjadi, pengantin berdua adalah bahan ledekan dan mereka harus siap menerima semua itu. Njenengan kan diundang, gojeg ki yo perlu, ning yo sak perlune wae.
Bagi saya, itu tidak lucu. Sama sekali. Kenapa tidak memberikan wejangan yang umum-umum saja. Tentang bagaimana nanti cara hidup bertetangga dengan baik misalnya, karena kan menikah dan mempunyai keluarga itu otomatis membuat si pengantin menjadi keluarga baru yang ada konsekuensi lebih dalam hidup bertetangga. Lagi pula, ketika seseorang sudah memutuskan untuk menikah, mereka pasti juga sudah mempelajari kisi-kisi tentang pernikahan. Jadi, njenengan tidak perlu lah menjadi seseorang yang merasa paling tahu dan paling benar. Tulung, sak madyo saja.