Ada masjid di kampung kami. Kami berbahagia karena akhirnya akan mempunyai sebuah tempat untuk beribadah bersama tanpa harus berjalan jauh. Kampung kami letaknya berada diujung desa. Berbatasan dengan sawah dan sungai. Sangat jauh dan seakan tidak terjangkau dengan pembangunan utamanya pembangunan tempat ibadah. Kami, sebelum akhirnya ada masjid, harus berjalan lima ratus meter menuju tempat masjid terdekat. Jika pahala itu terlihat nyata di pundak kanan, jelas pundak kanan kami sudah menumpuk pahala sebegitu banyaknya.
Ada msjid di kampung kami. Kami menyambutnya dengan berbahagia. Kami bergotong royong untuk membangunya. Diceritakan bahwa tanah masjid adalah tanah wakaf. Biaya pembangunan juga biaya dari pewakaf. Si pewakaf, seorang saudagar kaya dan sudah menyandang gelar haji. Gelar haji ini bukan untuk dirinya sendiri, hampir seluruh anggota keluarganya sudah haji. Awalnya, saudagar ini sakit dan dicarikanlah obat ke sana ke mari. Sayangnya, belum ada obat yang manjur. Dokter didatangi, kyai dimintai doa, orang pinfar didatangkan, dan doa bersama untuk kesembuhan pun sudah dilangsungkan. Hasilnya? Nihil. Sampai akhirnya, ada seorang pengemis tua datang kerumahnya, meminta – minta dan tidak sengaja melihat bapak saudagar. Si pengemis berkata, bapak sakit karena kurang beramal. Akhirnya, saudagar ini mewakafkan sebagian tanahnya untuk dijadikan masjid. Hasilnya, beliau lantas sembuh dan sekarang bisa kembali bekerja.
Ada masjid di kampung kami. Warga kampung menyambut dengan suka cita. Selain bbegotong royong, kami pun ikhlas untuk menyumbang makanan bagi pekerja yang menyelasikan pembangunan masjid tersebut. Seorang mandor dipercayakan oleh saudagar tersebut untuk menyelesaikan pembangunan masjid sesuai dengan waktunya. Rencananya, peresmian masjid akan bersamaan dengan hari ulang tahun saudagar tersebut. Kami manggut-manggut saja. Tanda setuju dan kami tidak membantah sama sekali. Kami berbahagia. Akan ada masjid di kampung kami. Segera.
Ada masjid di kkampung kami. Hari peresmian tiba, semua warga semangat menyambutnya. Bergotong royong sehari sebelumnya, memasak masakan istimewa, menghias masjid dengan sempurna, dan menyiapkan baju terbaik selayaknya merayaka hari raya. Kabarnya, saudagar pewakaf sudah menyiapkan seoramng ustadz terkenal untuk memberikan tausiah dan memimpin doa saat peresmian nanti. Kami, warga kampung, manut-manut saja.
Ada msjid di kampung kami. Namun ternyata tidak semua warga akhirnya berbahagia. Ustadz yang dipilih saudagar memberi tausiah secara kasar. Menggebu-gebu seakan kami akan berperang melawan penjajah. Kata-kata yang dipakainya kasar, kontras dengan halus dasternya dan klimis jenggotnya. Menyebur kafir bagi yang berbeda denganya. Tanpa dia tahu, tetangga terdekat masjid adalah warga dengan keyakinan yang lain denganya. Hati kami, warga kampung, tersakiti. Kami kecewa
Ada masjid di kampung kami. Namun tidak sesuai dengan bayangan kami,warga kampung. Pewakaf sudah menyiapkan ustadz yang mengurus, ustadz yang akan mengisi tiap pengajian, bahkan bendahara masjid juga ddipilihnya sendiri. Kami, warga kampung, merasa seperti anak tiri. Kami sedih. Lantas kami tidak lagi menginjakan kaki di masjid tersebut. Jadilah masjid tersebut masjid bagi saudagar kaya itu sendiri dan keluarganya.
Ada masjid di kampung kami. Namun kami tidak berbangga hati. Biasa saja. Seakan tidak ada masjid di sana. Di masjid kami di kampung kami hati kami tidak terkait.