Dulunya, kota ini begitu indah untuk disinggahi. Tak banyak gedung bertingkat yang menghunus langit biruku. Belum seperti sekarang deru mesin dan kepulan asap menghitamkan cakrawalaku. Terang bagai rembulan di tanggal 15 penanggalan jawa bumi ini dulu kupijak. Tapi sekarang, apa yang bisa aku banggakan lagi? Kadang aku malu kepada dunia. Kerana semakin pintar manusia bukan semakin bijak mereka berkelakuan, tetapi malah lebih suka menyakiti dan mengotori bumi yang indah titipan Tuhan ini.
Aku tersadar bahwa ini bukan saatnya untuk berpangku tangan menyangga dagu tanpa beraksi secepatnya menyelamatkan bumi ini. Aku tidak mau bencana semakin mengikis bumi tercintaku ini. Sudah terlalu banyak air mata mengalir untuk menangisi kesalahan diri sendiri. Sudah cukup jerit manusia membahana di malam hari untuk menyesali yang sudah terjadi.
“ Rin, ayo cepat bergerak, tanam segera pohon itu. Ntar keburu hujan loh!” Rio meneriakiku dan mengganggu lamunanku siang ini.
“ lya, ni juga dah mau selesai kog. Bentar aku susul kau ke base camp!” Sautku sambil menyelesaikan menanam pohon bakau.
Kami ini adalah sukarelawan pencinta alam yang ditugaskan ke pinggiran pantai dikawasan pesisir selatan pulau jawa. Kami melakukan ini semata – mata kerana kepedulian kami pada bumi yang semakin tua dan tak mampu lagi menampung umat Tuhan yang terkadang tak tahu berterimakasih.
Seperti kata Rio, tak berapa lama pun hujan turun juga akhirnya. Separuh bersyukur dan sedih juga dengan hadirnya hujan sore itu. Bagaimana tidak? Pohon bakau kami harus melawan kuatnya hujan yang didukung dengan angin yang kencang bertiup. Sedang nun jauh disanan aku tahu para petani sangat membutuhkan air dari langit ini untuk mengairi sawah mereka yang sudah kehausan.
Kami pun berteduh bersama dengan para nelayan di tepian buritan kapal yang menepi. Sedang di luar sana anak – anak nelayan bersuka cita menyambut hujan sore itu. Ayah mereka memang sudah mengingatkan untuk berteduh sesegera mungkin supaya mereka tidak sakit di kemudian hari, tetapi mereka pun tak peduli. Mereka tetap saja menyuarakan suara mereka. Saling berteriak dan bermain air.
Samapai pada akhirnya salah satu dari mereka bermain air terlalu jauh dan hampir tenggelam ke laut. Aku meneriaki anak itu dan mencoba untuk menyelamatkanya. Tapi Rio menahanku dan dia berlari secepatnya merengkuh tubuh anak itu. Rio berhasil mendapatkanya dan menggiringnya kedangkalan pantai. Tapi entah kenapa ada angin dan petir yang menyambar dengan cepatnya setelah Rio berhasil mendapatkan anak itu. Secepat itu pula tubuh Rio tertarik oleh pusaran air yang menghempaskanya ke tengah laut.
Aku berteriak sekencangnya dan memanggil tim SAR yang juga membantu kami dalam program konservasi pantai ini.
Naas, tim SAR ternyata tak mampu melawan kuasa Tuhan. Rio tak dapat di temukan sore itu. Akhirnya aku hanya bisa menangis dan mengutuk, kenapa bukan aku saja yang di seret oleh pusaran air itu? Kenapa harus Rio, lelaki yang selama ini aku kagumi sebagai penjaga hatiku kelak? Kenapa harus dia? Dan kenapa harus aku yang menerima musibah ini?
Kini, setahun sudah sejak kejadian itu. Aku masih suka datang ketempat ini. Ke pantai dimana terakhir kali aku masih bisa menyaksikan Rio dengan utuh wujud dan raganya. Sayang, dia sekarang sudah di surga. Rio sudah menungguku di pintu surga. Entah kenapa aku selalu merasa dekat dengan Rio bila aku datang ketempat ini. Aku merasa aman bila mampu menyentuh pasir dan air pantai disini. Merasakan pohon bakau kami yang ditanam untuk alam. Aku merasa bisa berbicara dengan Rio. Bercerita denganya melalui pohon dan suasana disini. Angin disini menyamankan aku seperti Rio menjagaku saat ekspedisi ke Merapi beberapa waktu yang lalu.
Tapi sudahlah, tak ada yang perlu aku tangisi lagi. Rio sudah bahagia disana. Dia pasti sudah bahagia dengan jamuan Tuhan di surga.
“Mbak pacarnya mas yang dulu menyelamatkan saya ya?” tanya seorang anak di sampingku.
“Ehm?!” jawabku gugup dan kaget.
“ Maaf ya kak, mas itu nggak selamat karena menyelamatkan saya”
“ Oh, bukan salah kamu sayang. Karena Tuhan menyayangnya, makanya Tuhan mengambilnya dari sisi kita sayang” jawabku sambil menguatkan diriku sendiri.
“ Saya janji, akan melanjutkan menjaga pantai ini kak. Untuk melanjutkan perjuangan kakak”
“ he’eh, belajar yang rajin ya!”
“Eh”
Rio, maafkan aku karena aku datang kesini untuk berpamitan padamu. Aku akan pergi ke tempat di mana aku akan mengabdikan hidupku pada alam. Aku mendapatkan beasiswa dari sekolah untuk melanjutkan riset pohon bakau di wilayah pesisir pulau lain di Indonesia. Aku tahu kepergianku ini akan memakan waktu yang tak sebentar. Tapi Rio, jangan bersedih. Anak ini akan menjagamu dan meneruskan cita-citamu menghijaukan lagi bumi yang gersang ini. Jangan khawatir Rio. Kelak aku akan kesini lagi untuk mengisahkan perjalananku di negeri orang.
Pesawatku berangkat sore ini Rio. Aku tahu kau selalu menjagaku.
Bantul, 15 Desember 2016