YOLO. You Only Live Once. Berbekal dengan kalimat itu akhirnya saya mencoba hal-hal baru yang memberikan pengalaman tidak terlupakan. Kalimat itu juga yang membuat saya membuat daftar apa saja yang sekiranya wangun dilakukan sebelum mati. Menjelajahi tempat baru agaknya menjadi daftar yang tidak bisa dilewatkan dan gunung menjadi salah satu sub daftar di dalam daftar tersebut.
Gunung yang akan saya blusuki untuk memulai sebuah pengalaman blusukan naik gunung adalah Gunung Andong. Gunung Andong memiliki ketinggian yang lumayan bagi pendaki pemula atau pun bagi mereka yang mau melakukan pemanasan sebelum naik ke gunung yang lebih tinggi. Lokasi yang mudah dijangkau juga menjadikan gunung ini alternatif menarik bagi para pemuda-pemudi generasi milenial yang ngepop.
Lokasi Gunung Andong bisa ditempuh melalui beberapa jalur pendakian namun umumnya pendaki menggunakan jalur lewat Sawit. Dengan membayar tujuh ribu rupiah per orang, maka perjalanan bisa dimulai atau bisa juga ngecamp di base camp Sawit kemudian memulai perjalanan sebelum matahari terbit. Saya pribadi memilih untuk melakukan perjalanan selepas isya dan mendirikan tenda di atas. Perjalanan kali ini saya bersama dengan adik dan beberapa temannya yang kebetulan juga sudah punya pengalaman naik gunung sehingga mengurangi kekhawatiran akan hal-hal yang tidak diinginkan.
Meskipun kondisi gelap namun dengan trek yang sudah bagus membuat perjalanan di malam hari bisa dikatakan tanpa kendala. Istirahat sebentar setiap seratus meter masih bisa dimaklumi lah ya dan itu juga bukan kendala berarti karena memang kami tidak mengejar apa-apa. Kami menikmati perjalanan ini dan tidak terburu akan sesuatu. Apapun itu.
Penanda kalau sudah akan sampai puncak adalah gemericik air di sisi kanan jalur pendakian. Dari aliran air tersebut, tinggal lima ratus meter lagi kita sudah bisa mendirikan tenda dan melepas lelah sambil ngopi, ngemil bekal makanan, atau pun memasak mi instan. Dibutuhkan waktu kurang lebih satu setengah jam sampai dua jam untuk sampai puncak Gunung Andong ini. Karena perjalanan dimulai selepas isya, kurang lebih jam delapan malam, maka kami sampai di atas kurang lebih jam dua belas malam. Beberapa dari kami mendirikan tenda, mengeluarkan bekal, dan saya tiduran tidak jelas menunggu semuanya siap. Hehe.. 🙂
Beruntung kami naik Gunung Andong saat hari kerja jadi tidak begitu kesulitan mendapatkan tempat mendirikan tenda. Menurut informasi dari base camp, kalau kondisi akhir pekan kondisi di atas bisa seperti pasar malam karena tenda pendaki saling berdempetan dan warna yang mencolok mata dari tenda tersebut bisa dilihat dari jarak dua ratus meter sebelum puncak. Kondisi padatnya pengunjung juga membuat tidak nyaman bagi saya karena menyusahkan ketika mau buang air kecil. Lebih prihatin lagi kalau ada pendaki yang suka buang air atau pun buang sampah di jalur pendakian. Itu sangat tidak nyaman bagi pendaki yang lain.
Kami melepas lelah dengan tidur di dalam tenda dan menunggu waktu untuk menjemput kilau sinar matahari di pagi harinya. Bisa dikatakan kami sangat cukup istirahat karna perjalanan yang tidak begitu memakan waktu dan posisi kami yang sudah diatas tidak memaksa kami untuk bangun lebih awal dan trekking lagi. Menurut saya, naik selepas isya cukup ideal untuk mendaki Gunung Andong.
Kurang lebih pukul lima pagi kami bangun dari istirahat dan nongkrong di depan tenda. Kembali ngopi dan berjalan ke sisi kanan maupun kiri tenda untuk menghangatkan badan sekalian melihat matahari terbit menjadi kegiatan selanjutnya. Pagi hari juga waktu yang pas untuk tahu siapa tetangga tenda dan bercerita ngalor ngidul sambil berbagi makanan maupun cerita pendakian. Nambah teman? Iyalah. Dari puncak Gunung Andong ini kita bisa melihat puncak gunung lain di Pulau Jawa. Sebut saja Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan entah apalagi saya tidak begitu hapal.
Pukul enam matahari sudah cukup membuat kami memicingkan mata dan merasakan hangat cenderung panas sinarnya. Meski begitu, kami masih belum mau turun karna ada pemandangan awan di sekeliling kami. Sungguh, rasanya saya tinggal di atas awan saat itu. Putih menggumpal dan rasanya empuk kalau dipakai gegoleran. Terdapat jalur yang disebut Geger Sapi di Gunung Andong yang membuat para pendaki harus berhati-hati ketika melewatinya karena jalanya yang sempit dan kondisi kanan kiri jurang. Akhirnya, kami puas dengan pemandangan awan putih menggumpal. Kami berkemas untuk turun dan menggunakan kalur yang sama ketika naik. Dalam perjalan turun tersebut saya baru tahu kalau ada makam di Gunung Andong.
Perjalanan turun saya rasa lebih singkat karna waktu yang kami butuhkan saat itu sekitar satu jam perjalanan. Kami lapor ke basecamp lagi dan siap memanasi mesin motor untuk perjalanan pulang. Akhrinya, perjalanan YOLO saya berakhir sukses, sesuai rencana, dan menyenangkan. Akhrinya juga, saya berhasil menjemput matahari terbit dengan (naik) andong 🙂
Bagi yang malas untuk bangun pagi sekali namun ingin menikmati indahnya matahari terbit, menginap di atas gunung adalah alternative yang tepat. Monggo dicoba, lur!