Bagi saya, dan keluarga, batik bukanlah hal yang baru. Sedari kecil saya sudah sangat akrab dengan alat bernama canting, sebuah bahan bernama malam, perangkat untuk batik cap, proses membuat pola, nyanthing, ngecap, nyelup, sampai mepe, bahkan hitungan berapa besar upah membatik. Khusus untuk hitungan ini saya tahu saat saya kelas enam SD karna diminta membantu menghitung upah budhe saat hari Sabtu.
Saya, meskipun sudah dari kecil mengenal dan akrab dengan batik hingga hari ini, rasanya baru hitungan jari saya benar-benar membantu untuk kelangsungan usaha batik di keluarga saya. Saya memang sering menggunakan batik sebagai baju untuk bekerja, pergi kondangan, datang ke sebuah hajatan, menghadiri pengajian, dan lain sebagainya; namun, membantu mengerjakan segala detailnya, sangat bisa dihitung dengan jari. Saya hanyalah setitik malam dalam coletan para pekerja dan pelaku usaha batik ini di keluarga. Menyedihkan? Iya. Sangat.
Hal yang saya sadari sekarang ini adalah, industri batik sangat kompetitif dan terus berkembang mengikuti jaman. Setelah batik ditetapkan Unesco sebagai warisan budaya tahun 2009 dan dengan adanya Hari Batik Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Oktober, geliat usaha batik selain menjadi semakin baik juga terkadang membawa hal yang membuat saya prihatin. Semakin baik, bisa dilihat dari semakin banyaknya corak batik yang ada di pasaran. Semakin baik, dilihat dari banyaknya anak muda yang mengenakan batik karna warnanya sekarang semakin variatif. Semakin baik, karna sekarang banyak pesohor negri ini mengenakanya dan ini jelas mendorong masyarakat untuk membeli dan memiliki batik sebagai koleksi.
Lantas, apa keprihatinan saya? Gempuran batik printing menjadi salah satunya selain harga bahan yang semakin melambung. Batik printing memang ekonomis dan warnanya lebih lama pudar. Kualitas? Kalau kain yang digunakan bagus dan halus, jelas kualitasnya menandingi kain yang lain.Tentunya ada harga yang harus dibayar disitu meskipun batik printing. Yang lebih membuat saya sedih, masyarakat belum banyak yang tahu bagaimana cara membedakan batik printing dengan batik buatan tangan para pengrajin. Pertanyaan terbesar saya saat ini adalah, apakah batik printing tetap disebut “batik”?
Adanya batik printing, harga alat dan bahan yang semakin tinggi, apakah membuat kami gentar? Tidak. Kami malah semakin bersemangat untuk membuat inovasi supaya tradisi ini tidak semakin turun dan nantinya tidak dikenali. Bukan dengan menurunkan kualitas, namun dengan semakin meningkatkan kualitas dan mengedukasi masyarakat.
Mengikuti berbagai pameran, menjadi sponsor di beberapa acara, menjadikanya buah tangan, dan mengenakan sendiri hasil batik adalah beberapa cara yang bisa kami usahakan. Hasilnya? Tradisi yang sudah turun temurun ini membuat beberapa kalangan di sekitar kami lebih memilih batik hasil usaha para pengrajin. Masyarakat sudah semakin tahu kualitas dan sisi kebanggan dari batik dan ini jelas menguntungkan para penerus tradisi ini.
Usaha batik di keluarga kami, jelas sebuah tradisi yang akan kami teruskan dan membuat kami terus berinovasi. Menjadikanya tradisi di masyarakat juga sebuah pekerjaan rumah bagi kami, namun kami tidak menjadikanya beban. Jika dahulu banyak masyakarat mengkirikan batik karna istilah ngembat barang sethithik* , maka sekarang dengan semakin dikenalnya batik membuat masyarakat menjadi kelihatan apik.
*Bahasa jawa, upahnya sedikit