Minggu lalu (nek ora kleru) saya memaksakan diri saya untuk tetap bisa bangun pagi meskipun hari itu adalah hari libur. Saya memaksakan untuk membuka mata dan segera nyaut handuk karna saya ada janji dengan orang penting di kota sebelah. Beliau adalah orang penting, menurut saya, dan Magelang wajib berbangga memiliki beliau. Beliau adalah Mas Agus Mulyadi. Melalui akun @AgusMagelangan njenengan bisa mengenal beliau lebih jauh. Blog juga beliau punya dan beliau juga aktif menulis do mojok.co.
Jadi, awal ketertarikan saya dengan Gunung Tidar karna tempat ini punya cerita kepahlawanan dan kemistikan. Di sana, terdapat “makam” Syaikh Subakir, Kyai Sepanjang, dan Kyai Semar. Satu tempat dengan yang lainya tidak begitu jauh dan sebenarnya, hanya butuh waktu kurang dari tiga puluh menit untuk bisa mencapai puncak Gunung Tidar. Iya, kurang dari tiga puluh menit; maka, tidak heran kalau ada yang menyebut Gunung Tidar sebagai Bukit bukan Gunung. Lokasi yang berada di tengah kota (belakang terminal lama Tidar dan bersebelahan dengan Akmil) menjadikan tempat ini salah satu oase di tengah riuhnya kta Magelang.
Selain adanya tiga tempat yang saya sebutkan tadi, terdapat pula Tugu dan “paku” di puncak. Tugu yang menjulang dengan tangga dari besi di salah satu sisinya menunjukan bahwa tugu ini mempunyai kegunaan. Iya, tugu ini sebagai tempat untuk mengibarkan bendera merah putih. Sayangnya, saat saya ke sana tidak ada bendera terpasang di sana. Di dekat tugu ini terdapat “paku” yang dipercaya sebagai pakunya pulau Jawa. Di paku tersebut, terdapat huruf jawa dengan lafal ‘sa’. Terdapat di tiga sisi paku lafal huruf jawa tersebut. Arti dari lafal sa sendiri adalah Sapa Salah Seleh. Siapa yang bersalah, suatu saat akan kalah juga. Tugu kecil berbentuk segi empat ini semacam pengingat bagi siapa saja yang datang ke tempat ini.
Asal muasal nama Gunung Tidar adalah, jaman dahulu kala, siapapun yang naik ke Gunung ini kalau tidak mati ya modar. Sebenarnya, mati dan modar artinya sama yaitu meninggal dunia. Bedanya, mati lebih halus sedangkan modar adalah kata kasar.
Suasana di puncak dan selama perjalanan naik sangat teduh karna pohon pinus masih banyak di sini. Jalanya juga sudah sangat bagus dan nyaman untuk pejalan yang sudah berusia lanjut sekalipun. Hal yang selalu membuat saya kecewa ketika di puncak adalah, ketika di puncak sudah ada yang jualan makanan. Hal ini terjadi di Gunung Tidar ini. Satu lagi saat saya naik ke Gunung Andong. Lain waktu saya ceritakan tentang perjalanan saya ke Gunung Andong.
Di dekat makan Syaikh Subakir memang terdapat beberapa warung dan tempat untuk beristirahat. Terdapat pula masjid di samping makam yang biasa digunakan sebagai tempat untuk berdoa (ya iyalah).
Ada beberapa jalan untuk mencapai puncak Gunung Tidar ini, namun yang umum digunakan adalah yang lewat Terminal Tidar lama. Itupun, terdapat dua jalur. Baiknya, dua-duanya dicoba. Pas naik lewat jalur yang pertama ditemui kemudian nanti turunya lewat jalur satunya. Jalur turun ini digunakan sebagai tempat beberapa orang tua untuk meminta sedekah dari para pengunjung. Biaya masuk ke Gunung ini terjangkau karena tidak ada patokanya. Seiklasnya.
Akses mudah, jalur mudah, tidak begitu tinggi dan bisa jadi alternative liburann sesaat anda to?