Semalam saya ke Padepokan Bagong Kusudiharjo. Tempat yang saya sebut sebagai rumah kedua saya. Disana pernah ada kenangan manis yang tidak saya lupa. Bersamanya.
Okay, sekarang saya akan bercerita tentang apa yang terjadi semalam disana. Semalam termasuk pertunjukan yang belum pernah ada sebelumnya karena pentas semalam di lakonkan oleh generasi ketiga dan ke empat Bapak Bagong.
Nama – nama mereka lumayan sulit untuk saya tulis, tapi demi kenyamanan saya maka baiklah saya tulis saja. Mereka adalah: Paranditya Wintarni, Indiartari Kussnowari, Puti Lokita Suri, Eugene Gagah Pacutantra, gaung Kyan Renantya Sidharta, Galuh Paskamagma, Brian Respati Septianto, Iduberga Gusti Arirang, Karola Ratu Hening, Kandida Rani Nyaribunyi, Rahane Tetabuhan, Nandana Pertamaku, dan Anandaku Kaliehna.
Hal yang menjadi sorotanku semalam sebenarnya lebih kepada narasi dari angket di Jagongan Wagen kali ini. Jujur saja, untuk urusan seni, generasi Bapak Bagong sudah mengalir deras di darah mereka jadi ya tidak perlu saya ragukan toh
Poin saya di tulisan kali ini adalah narasi angket Jagongan Wagen semalam, berikut tulisanya:
Dengan kisah dan maknanya masing – masing, secara pasti kita semua sampai pada penghujung tahun ini, yang tentu saja bergandengan dengan sejumlah masa yang akan menjadi awal bagi tahun berikutnya. Serupa gong dalam music gamean, penghujung tahun menjadi tanda berakirnya sebuah masa, sekaligus menjadi isyarat datangnya masa yang baru. Setiap kali sampai pada sebuah penghujung, sebentuk esadaran yang akadang tidak disadari selalu mengajak kita untuk melihat yang telah menjadi pangkal. Kita melihat lagi titik dimana kita pernah mengawali, garis pertama yang pernh kita torehkan, ruang mula yang pernah kita tempati, jejak muda yang pernah kita pijak pada saat akan melonjak, dan segala peri yang telah berlaku didalamnya. Pada setiap penghujung, ada kerinduan yang tidak bisa kita tolak untuk pulang dan mengunjungi tempat dan saat dimana kita “dilahirkan”.
Kiranya, dari situlah asalnya sebuah tradisi yang berlaku sama di seluruh muka bumi. Penghujung tahun adalah saatnya berkumpul bersama keluarga. Seperti halnya natal, lebaran, dan ulang tahun, penghujung tahun adalah sesuatu yang diarayakan dan dijadikan alas an berkumpulnya sebuah keluarga. Tetapi bukankah tidak mustahil, jika yang dirayakan justru adalah “berkumpulnya keluarga” itu sendiri?
Seorang anak tidak membutuhkan alas an untuk mengunjungi ibunya yang melahirkanya. Sembilan bulan “bermukim” dalam rahimnya lebih masuk akal disbanding jutaan alas an. Seorang kakek tidak perlu mencari sebab jika ingin memberii hadiah pada cucu-cucunya. Sejarah yang mereka teruskan telah menjadi obligasi yang “ditulis dengan darah” dan tidak akan pernah terhapus. Pasangan suami-istri , sebenarnya tidak selalu puya penjelasan kenapa mereka saling mencintai sampai mati. Lebih penting bagi mereka untuk menjawab pertanyaan, “Apakah aku bersedia mati karena mencintainya?”
Alasa, sebab, dan penjelasan bisa diciptakan hanya dalam tempo satu kedipan mata, sekali digunakan, seterusnya dilupakan.