“ Jakarta kota klakson, Jogja kota budaya *singsot2* “
Percaya? Percaya dengan kalimat saya tadi? Saya percaya. Meski tak lama, saya pernah memijakan kaki di Jakarta. Memang kota itu penuh dengan klakson dimana – mana. Macet ndak ketulungan dan sepertinya jumlah matahari disana kebih banyak daripada di Jogja. Disana matahari tidak ada diskon, saudara – saudara.
Sebetulnya, saya disini mau bercerita tentang salah satu hasil budaya manusia. Bersiul namanya. Di Jogja ini, semacet apapun jalanya tetapi sangat jarang sekali ditemukan suara klakson kalau tidak kebangeten sekali. Menurut saya, perilaku tersebut juga cerminan kebudayaan manusia di kota ini. Alon – alon sing penting kelakon. Sungguh sangat berbeda dengan kondisi ibukota yang sedikit – sedikit mbunyiin klakson, mbunyiin klakson kog sedikit – sedikit.
Manusia disini kebanyakan menggunakan mulutnya untuk menghalau kemacetan. Bukan dengan misuh – misuh, tetapi dengan bersiul. Unik, kan? Orang Jogja dan saya sendiri sering menggunakan siulan untuk menghalau kemacetan atau untuk sekadar mengingatkan orang di depan saya untuk segera bergerak maju. Tujuan yang lain dari bersiul ini juga untuk mengatakan permisi kepada orang yang di depan saya ketika saya mau mendahuluinya (biasanya saya begitu ketika di pasar, soalnya orang di depan saya membelakangi saya dan saya ingin mendahuluinya).
Banyak yang berfikir bahwa perilaku bersiul itu tidak sopan karena seperti orang pinggir jalan dan tidak punya sopan. Itu menurut kebanyakan, tetapi kalau menurut saya pribadi sebuah perilaku dikatakan tidak sopan kalau tidak tau tempat. Orang Jawa mengenal kata bener dan pener. Jadi selain melakukan perbuatan yang benar juga harus tepat. Tepat disini maksudnya adalah tepat penggunaanya.
Jadi, bersiul tetap dikatakan sopan ketika dilakukan di tempat yang tepat.